Kompleks Istana Semakin Tak Ramah
Saat ini bila Anda melewati kompleks istana akan terasa ada perbedaan nuansa yang terjadi di sana. Kompleks istana kini telah dikelilingi oleh pagar besi yang menjulang tinggi, tidak seperti dahulu di mana kita masih bisa merasakan kehangatan bila melintas di sekitar kompleks istana. Kini dengan ketinggian pagarnya yang mencapai lebih dari 2 kali lipat tinggi semula maka bila kita melihat ke arah istana akan tampak sederetan jeruji besi bak sebuah penjara. Sedangkan para narapidana yang ada dibalik jeruji besi itu tidak lain adalah bangunan-bangunan gedung di kompleks itu beserta orang-orang yang berada di dalamnya.
Istana saat ini memang berbeda dengan ketika di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, era di mana masyarakat kecil dapat masuk istana dengan lebih bebas walau hanya bersarung dan bersendal jepit. Di masa itu istana memang milik rakyat, rakyat bisa merasa memiliki istana yang bersahabat dengan mereka. Era sebelumnya, yakni di masa orde baru tidak mudah bagi rakyat biasa untuk masuk istana dan di era sesudahnya aturan-aturan protokoler istana pun secara perlahan tapi pasti mulai diperketat kembali, tidak mudah bagi rakyat biasa untuk masuk istana. Ada batasan-batasan yang harus dipatuhi, dari hal kecil seperti jenis sepatu hingga celana pun menjadi persyaratan bila kita ingin bertemu dengan presiden maupun wakil presiden.
Masih tergambar dalam ingatan kita, sejak peristiwa penuh aib di bulan Mei tahun 1998 maka lingkungan arsitektur kita pun mengalami perubahan, kekerasan demi kekerasan berdampak secara langsung maupun tak langsung pada bangunan di sekitar kita. Dengan alasan prioritas keamanan maka bangunan pun berpagar tinggi. Bangunan negara pun berturut-turut dari Monumen Nasional (Monas), Bank Indonesia, gedung wakil rakyat (DPR/MPR), gedung Kejaksaan Agung, Masjid Istiqlal, hingga yang terakhir ini istana kepresidenan pun tak luput dipagari dengan pagar tinggi.
Dengan ketinggian pagar yang jauh melebihi tinggi manusia itu tentunya menimbulkan tanya pada masyarakat. Ada apa dengan negeriku? Semakin tak amankah negeriku kini, hingga gedung-gedung negara sampai istananya harus dipagari setinggi itu?
Tidak adakah aturan yang mengatur batas wajar ketinggian pagar? Bila aturan itu ada, kenapa hal ini bisa terjadi? Apalagi ini pun terjadi di gedung-gedung negara, yang membuat seakan-akan pelanggar aturan dikomandani oleh gedung-gedung negara.
Pertanyaan lain, di manakah hak-hak publik untuk melihat dan menikmati kotanya bila ruang-ruang publik telah dipenuhi oleh pagar-pagar yang menjulang tinggi?
Istana saat ini memang berbeda dengan ketika di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, era di mana masyarakat kecil dapat masuk istana dengan lebih bebas walau hanya bersarung dan bersendal jepit. Di masa itu istana memang milik rakyat, rakyat bisa merasa memiliki istana yang bersahabat dengan mereka. Era sebelumnya, yakni di masa orde baru tidak mudah bagi rakyat biasa untuk masuk istana dan di era sesudahnya aturan-aturan protokoler istana pun secara perlahan tapi pasti mulai diperketat kembali, tidak mudah bagi rakyat biasa untuk masuk istana. Ada batasan-batasan yang harus dipatuhi, dari hal kecil seperti jenis sepatu hingga celana pun menjadi persyaratan bila kita ingin bertemu dengan presiden maupun wakil presiden.
Masih tergambar dalam ingatan kita, sejak peristiwa penuh aib di bulan Mei tahun 1998 maka lingkungan arsitektur kita pun mengalami perubahan, kekerasan demi kekerasan berdampak secara langsung maupun tak langsung pada bangunan di sekitar kita. Dengan alasan prioritas keamanan maka bangunan pun berpagar tinggi. Bangunan negara pun berturut-turut dari Monumen Nasional (Monas), Bank Indonesia, gedung wakil rakyat (DPR/MPR), gedung Kejaksaan Agung, Masjid Istiqlal, hingga yang terakhir ini istana kepresidenan pun tak luput dipagari dengan pagar tinggi.
Dengan ketinggian pagar yang jauh melebihi tinggi manusia itu tentunya menimbulkan tanya pada masyarakat. Ada apa dengan negeriku? Semakin tak amankah negeriku kini, hingga gedung-gedung negara sampai istananya harus dipagari setinggi itu?
Tidak adakah aturan yang mengatur batas wajar ketinggian pagar? Bila aturan itu ada, kenapa hal ini bisa terjadi? Apalagi ini pun terjadi di gedung-gedung negara, yang membuat seakan-akan pelanggar aturan dikomandani oleh gedung-gedung negara.
Pertanyaan lain, di manakah hak-hak publik untuk melihat dan menikmati kotanya bila ruang-ruang publik telah dipenuhi oleh pagar-pagar yang menjulang tinggi?
| 22 Januari 2010 | samidirijono | arsitek |
(foto diambil dari koleksi pribadi dan berbagai sumber)
(foto diambil dari koleksi pribadi dan berbagai sumber)
sumber: http://balaijumpa.blogspot.com/2010/01/kompleks-istana-semakin-tak-ramah.html
0 Post a Comment